Kali ini, guyonan biasa di meja makan itu bukan lagi sekadar kelakar atau bercanda, tapi benar adanya. Serius, sekarang, makan sudah bisa dengan piring-piringnya sekalian. Karena, piring itu terbuat dari terigu yang sudah dimasak. Hmm.. kedengarannya yummy!
Satu perusahaan di Taiwan telah memulai memproduksi peralatan makan yang terbuat dari bahan terigu, yang memungkinkan publik memakannya setelah menghabiskan makanan di atas meja. Kalaupun sudah kenyang, piring, gelas, ataupun mangkuk itu bisa direbus dan kemudian diberikan pada binatang piaraan.
Terdengar menarik dan ramah lingkungan, bukan?
Ide brilian itu dikembangkan Chen Liang-erh. Ia menciptakan piring dan peralatan makan yang bisa dimakan. Awalnya dibuat dari oatmeal atau bubur gandum. Dia butuh waktu yang tidak sedikit untuk trial and error. Tidak tangung-tanggung, Chen menghabiskan waktu hampir sepuluh tahun untuk riset dengan total biaya sekitar 1,48 juta dollar AS.
Dari produk yang bentuknya biasa saja dan satu warna, kemudian berkembang menjadi lebih berwarna dan beragam sehingga tampak lebih menarik dan sekilas tidak akan tampak meyakinkan kalau bisa juga dimakan karena kemiripannya dengan piring biasa yang sering digunakan.
Dari sebuah tulisan di Daily China News, perusahaan yang digawangi Chen awalnya berencana memproduksi sekitar enam juta “piring dan mangkuk lezat” itu dalam satu hari selama 18 bulan masa percobaan. Setelah hampir tiga tahun berjalan, produksi ternyata meningkat menjadi 14 juta item setiap hari.
Sepertinya, piring yang bisa dimakan itu telah menarik perhatian publik, seolah menjadi bagian dari makanan penutup yang bisa digigit, dikunyah, atau ditelan. Kalau memang sudah kenyang dan tidak sanggup lagi, piring dan mangkuk itu bisa direbus dan menjadi makanan penuh nutrisi buat binatang piaraan di rumah.
Kehadiran piring atupun mangkuk dari terigu dan gandum ini sepertinya akan segera menjadi hit. Setidaknya, beberapa waktu dulu, selalu ada masa ketika peralatan makan dari aluminium menggantikan posisi piring-piring yang terbuat dari logam, emas, ataupun perak. Makin berkembang, lalu ada piring dan mangkuk dari keramik dan plastik.
Siapa tahu, beberapa waktu ke depan berikutnya adalah giliran peralatan makan yang praktis dan juga ramah lingkungan ini. Setidaknya, dia tidak lagi menjadi sampah yang dibuang ataupun memenuhi tempat untuk dibersihkan (dicuci).
Selain dari gandum, ada juga yang terbuat dari maizena (tepung dari tanaman jagung), kentang, atau produk pertanian lainnya. Di samping baik untuk kesehatan, dimanfaatkannya bahan alami ini juga dinilai bisa turut menjaga lingkungan, karena kalaupun dibuang, masih mudah diolah dan menjadi kompos.
Jadi, kalau satu kali ke restoran dan ada pelayan yang berkata, “Silakan makan, sekalian sama piringnya”, jangan lagi kaget. Siapa tahu, yang ada di atas meja, benaran bisa dimakan. Semoga harganya juga tidak dua kali lipat. rai/L-3]
Ramah Lingkungan
Keberadaan peralatan makan yang bisa dilahap ini secara tidak langsung juga mengusung nilai tambah, yakni ramah lingkungan. Kebetulan, inovasi ini hadir di era ketika gaung gaya hidup hijau atau go-green sedang bergema. Setidaknya, peralatan makan ini akan mengurangi populasi sampah, sekaligus membuat lingkungan tetap bersih dan terjaga.
Coba hitung berapa piring, mangkuk, atau gelas yang menumpuk saat satu event atau festival akbar digelar. Bagi yang pernah hadir di festival musik jazz ataupun festival besar lainnya, tentu pernah membayangkan betapa banyaknya publik membuang sisa makanan dan tempat makannya.
Seorang bernama David Kupfer dalam tulisannya di sierraclub.org, pernah menyebutkan kalau warga Amerika itu membuang 60 miliar gelas, 20 miliar peralatan makan, serta 15 miliar piring untuk tahun 2001. Hanya sedikit sekali yang perhatian terhadap lingkungan, khususnya kalau itu festival go-green.
Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada yang memperhatikan ini. Tapi kalau pernah hadir dalam berbagai ajang festival, yang berlangsung tiga hari misalnya, pasti akan menemui tumpukan sampah (yang sebagian besar sisa makanan) di beberapa titik. Kalau dikalkulasi tidak bisa dibayangkan juga jumlahnya.
Nah, dengan keberadaan piring dan mangkuk lezat ini siapa tahu bisa mengatasi masalah rumit mengenai lingkungan itu. Karena terbuat dari bahan yang alami, tentunya dia juga tidak berbahaya, dan kalaupun dibuang bisa menjadi kompos buat tanah.
Bukankah dengan nilai tambah yang dibawanya, peralatan makan “ajaib” ini sekaligus telah menjadi pahlawan juga buat lingkungan serta manusia. Dia tidak lagi merepotkan untuk dicuci atau menumpuk di sudut ruang.
Karena itu juga, rasanya perkembangan abad ke-21 tidak hanya bertumpu pada teknologi, tapi bagaimana juga mengusung bahan pertanian ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, sudah saatnya juga bidang agrikultur ini mulai dilirik sebagai ranah yang potensial, selain ranah digital yang sudah tidak bisa dibendung wabahnya. rai/L-3
Fakta di Balik Gagasan Cerdas Itu
Selain berkembang di Taiwan, peralatan makan yang mencuri perhatian ini sebelumnya sudah juga menjadi perbincangan di berbagai kalangan, di sejumlah negara. Beberapa cerita dan kisahnya cukup menarik untuk diikuti. Berikut diantaranya.
• Sekitar tahun 1992, seorang insinyur dari Kanada bernama David Aung pernah mencoba menciptakan peralatan makan yang bisa dilahap dan ditujukan untuk ramah lingkungan. Dia membuat cangkir, mangkuk, piring, dan berbagai peralatan makan lainya dari sejumlah bahan alami, seperti gandum, jagung, terigu, beras, kedelai, dan tepung tapioka, atau ubi kayu.
Dalam perkembangannya dia juga membuat varasi dengan dekorasi tambahan rasa, seperti cokelat, vanila, dan jeruk. Sayangnya, produk itu tidak pernah muncul ke pasaran, karena permasalahan kurangnya dana investasi dan pengembangan.
• Di Polandia, Miller Jerzy Wysocki punya gagasan yang sama dengan membuat peralatan makan dari tepung terigu. Beberapa tahun yang lalu, dia mencoba membuat dengan 100 persen bahan dari alam, dengan produk berupa piring, mangkuk, dan cangkir. Tanpa bahan pewarna ataupun zat kimia. Namun, usaha penjualannya di sana tersendat, apalagi publik masih mengabaikan bahan organik ini. Tapi, dia tidak perlu berkecil hati, karena kemudian salah satu perusahaan supermarket besar di Inggris meliriknya dan ditawari untuk mengembangkan produksi, hingga termasuk pembungkus pizza bagi yang ingin dibawa pulang.
• Sebuah perusahaan di Inggris bernama Potatopak mengembangkan pembuatan piring yang terbuat dari kentang. Dikenal dengan sebutan “piring kentang”, produk ini diyakini 100 persen ramah lingkungan tanpa racun dan zat kimia. Produksinya terbatas sejak tahun 1998. Selain peralatan makan, juga ada baki (nampan) dan panci. Kompetitornya hanya ada dua, yakni yang berada di AS dan Jerman.
• Di Jerman, sejumlah cangkir dan mangkuk yang bisa dimakan (seperti wafer/waffle) kerap menjadi pelengkap yang sering disuguhi kala ada festival ataupun pameran. Biasanya sebagai tempat ditarohnya, kentang, saus, irisan pizza, crepes, dan es krim.
• Cobatco, sebuah perusahaan dari Illinois memproduksi mangkuk wafel untuk keperluan rumah atau bisnis.
• Di Austria, Swedia, dan Jerman, perusahaan fast food McDonalds-nya menggunakan peralatan makan dari maizena (sejenis tanaman dari jagung) yang diproduksi dari Italia. Di samping itu, container es krimnya terbuat dari biscuit (cookie) untuk menggantikan yang sebelumnya terbuat dari plastik.
• Di Amerika, ada Edibowls yang berlokasi di California Selatan, menjual enam mangkuk yang terbuat dari terigu, yang dibakar, dan renyah kala dimakan. Pasar mereka adalah kafe-kafe dan institusi. Disebutkan, seorang Professor Jay-Lin Jane, dari Iowa State University, yang mencoba mengembangkan peralatan makan yang bisa dilahap ini.
• Duo Anne Bannick dan Lene Vad Jensen dari Denmark membuat peralatan makan dari terigu, maizena dan laktat asam susu, di bawah naungan Papcorns. Beberapa produknya, berupa sushi-set, piring, dan peralatan makan lengkap, hingga mangkuk.
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9645750
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar