Fotografi adalah salah satu bidang seni yang paling banyak dipenuhi mitos dan “fakta” yang tidak pernah terbukti kebenarannya. Biasanya Anda mendengar mitos ini saat berada di toko kamera, meskipun hal ini tidak selalu salah penjual di toko. Seringkali mitos ini berawal dari produsen kamera untuk mendukung promosi tipe kamera baru yang akan dipasarkan, dan berangsur-angsur beberapa mitos berubah menjadi kebohongan.
Kebohongan ini bukan berarti penipuan. Kebanyakan memang bermula dari fakta, tetapi kemudian dibesar-besarkan atau ditutup-tutupi sebagian sehingga memberi dampak yang lebih kuat. Dalam artikel ini Anda dapat membaca 9 hal yang paling sering terdengar saat kita berkunjung ke toko kamera, dan alasan mengapa Anda perlu lebih skeptis mengenainya.
1. Megapixel = Kualitas
Ya, mari memulai dengan kebohongan yang paling populer, yaitu bahwa megapixel lebih tinggi, lebih baik. Megapixel adalah satuan resolusi sensor, dan memang nilai ini merupakan hal pertama yang disebut pada setiap spesifikasi kamera. Pada suatu masa, memang produsen saling mengadu nilai megapixel tertinggi. Namun, jika ada yang mengatakan, “Kamera ini lebih baik karena memiliki 14 megapixel, kamera itu hanya 12 megapixel” maka Anda perlu waspada.
Sebenarnya tidak salah jika dibilang megapixel memengaruhi kualitas, tetapi harus dalam skala besar. Megapixel mencakup luas sensor. Karena itu, untuk mendapatkan detail yang 2x lebih baik secara teori Anda membutuhkan nilai megapixel yang 4x lebih besar. Misal sebelumnya 10 megapixel, Anda membutuhkan 40 megapixel. Ini berlaku untuk kamera dengan tipe yang sekelas.
Jadi, apa memang Anda membutuhkan extra 2 megapixel pada foto Anda? Kemungkinan besar jawabannya “Tidak”. Kamera saku terkini rata-rata memiliki 12 megapixel, sementara DSLR memiliki 15 megapixel. Kedua nilai ini sudah sangat tinggi dan extra 2 megapixel tidak akan memberikan perbedaan yang signifikan.
2. ISO 5000! ISO 10000!
Setelah melewati fasa “Perang Megapixel”, produsen kamera kini memasuki fasa “Perang ISO”. Ya, ISO, yang merupakan satuan sensitivitas kamera, didorong sampai batas-batas tidak masuk akal. Salvo pertama dimulai oleh Nikon dengan D3S yang dapat memotret sampai ISO 102.400, sekitar 32x lipat lebih tinggi dari kamera normal. Semakin ke sini, semakin banyak kamera saku yang menjanjikan pemotretan sampai ISO 3200 atau ISO 6400.
Kami tidak mengatakan bahwa ISO tinggi itu buruk. Pada saat gempa di Padang 2009 lalu, semua listrik mati sehingga banyak jurnalis yang merasakan manfaat ISO tinggi saat dokumentasi seperti pada foto ini. Tetapi, yang mereka gunakan adalah kamera puluhan juta rupiah. Pada kamera saku dengan harga 3 juta rupiah, kemungkinan besar kamera hanya dapat memotret secara efektif sampai ISO800. Memang Anda dapat mengubah ke angka yang lebih tinggi, tetapi bukan berarti kamera akan memberikan hasil bagus.
3. Anda butuh lensa telephoto
Setelah membeli DSLR Anda, seorang petugas toko yang baik akan menawarkan tambahan lensa telephoto. “Baik” dalam arti baik dalam menjual, bukan berarti baik ke pelanggan. Jika Anda termakan bujukan ini, kemungkinan besar Anda akan menukar lensa tersebut dalam beberapa bulan dengan lensa yang lebih mahal lagi.
Lensa telephoto memungkinkan Anda memotret objek-objek jauh dengan detail. Namun, jika Anda salah memilih lensa, efektivitas lensa tele menjadi terbatas. Sebuah survei mengatakan bahwa 90% penggunaan kamera dilakukan dalam ruangan atau saat malam hari, yang berarti kondisi pencahayaan tidak ideal. Jika anda memilih lensa telephoto yang terjangkau, kisaran 2-3 juta rupiah, maka lensa itu biasanya tidak dirancang untuk penggunaan dengan cahaya kurang. Dalam kondisi pencahayaan tidak ideal, lensa tele terjangkau biasanya memberi respon lambat atau gambar yang blur. Jika ingin telephoto yang yang baik, bersiaplah mengeluarkan uang 2-4 kali lipat nilai tersebut. Dengan dana sekian besar, Anda bisa mendapatkan lensa tele dengan aperture besar dan Anti Shake (peredam getar). Jadi, sudah cukup dong? Tidak juga, Anda perlu mengingat mitos berikutnya…
4. Dengan Anti Shake pasti tajam
Image Stabilizer, Vibration Reduction, SteadyShot. Itu adalah julukan sebagian produsen untuk sebuah sistem serupa: peredam getar. Peredam getar meredam goncangan tangan Anda sehingga memberikan hasil tajam. Feature ini dapat dibilang wajib dimiliki jika Anda ingin menggunakan lensa tele karena saat menggunakan lensa tersebut setiap gerakan kecil berpengaruh berkali lipat. Dan semua sistem peredam getar produsen kamera dapat bekerja dengan baik.
Namun, Anda perlu ingat bahwa sistem tersebut tidak meredam gerakan subjek sehingga sebaik-baiknya teknologi yang ada pada kamera, Anda masih perlu belajar bagaimana memaksimalkannya. Dengan membeli lensa atau bodi yang lebih mahal, bukan berarti foto Anda tidak akan gagal.
5. “Ini lensa Jerman”
Carl-Zeiss, Leica, Schneider-Kreuznach. Ini adalah beberapa merek Jerman yang sukses merambah ke era digital. Banyak merek Jerman menikmati posisi sebagai merek premium saat fotografi film (analog), tetapi gagal bersaing dengan perkembangan teknologi Jepang di era digital. Lalu, yang sukses berarti produknya bagus dong? Satu hal yang perlu Anda ketahui, rahasia kesuksesan merek Jerman di era digital adalah dengan bekerja sama dengan … produsen Jepang.
Ya, beberapa produsen Jerman dapat tetap bersaing dengan memasarkan produk Jepang di bawah merek mereka. Leica D-Lux 4 adalah salah satu contoh. Produk tersebut sebenarnya sama persis dengan Panasonic LX3. Beberapa merek Jerman bahkan tidak lagi memasarkan, hanya menerima royalti dari produsen Asia sehingga produk mereka dapat dipasarkan dengan merek Jerman. Taktik pemasaran seperti ini terbukti efektif, tetapi Anda jangan menilai sebuah kamera lebih baik hanya karena ada merek Jerman tercantum padanya.
6. 15x zoom! 30x zoom!
Yang mereka katakan: “Lensa/kamera ini lebih baik karena zoomnya panjang”
Kenyataannya: Zoom yang panjang memperlambat kinerja lensa dan berpotensi menurunkan kualitas gambar
Akhir-akhir ini ada beberapa lensa ultrazoom yang cukup baik, tetapi lensa tersebut tidak murah. Generasi pertama lensa ultrazoom memiliki banyak masalah, termasuk ketiadaan sistem peredam getar pada beberapa merek. Silahkan saja memilih tipe lensa ini, tetapi yakinkan bahwa lensa tersebut adalah tipe terbaru.
Jika lensa ultrazoom terdapat pada kamera saku, masalahnya bertambah. Selain lambat, ukuran kamera juga membesar. Saat ini sudah ada kamera seukuran batang sabun dengan rentang zoom 14x seperti Canon SX210, karena itu tak perlu memilih kamera yang besar jika ingin zoom yang panjang. Kecuali jika Anda memang ingin kamera SLR-like, yang membawa kita ke poin berikutnya…
7. “Ini sudah mirip SLR”
Yang mereka katakan: “Kamera ini keren lho Pak/Bu, sudah seperti DSLR”
Kenyataannya: Kamera SLR-like masih 2-4 kali lebih lambat dibandingkan DSLR.
DSLR menjadi pilihan jurnalis bukan karena kualitas gambarnya karena untuk kualitas cetak koran, kamera saku masih bisa menyamai DSLR. Sebaliknya, jurnalis membutuhkan kecepatan DSLR. Padahal, kecepatan shot-to-shot, zooming, dan AF kamera SLR-like belum bisa menyamai DSLR sejati.
Selain itu, banyak orang menyukai efek ruang tajam tipis (shallow DOF) yang dapat diberikan DSLR tetapi sulit dilakukan dengan kamera SLR-like. Kamera SLR-like memang masih memiliki rentang zoom terpanjang, sampai 30x. Tetapi selain itu, tidak ada alasan kenapa Anda tak dapat memilih kamera yang lebih kecil atau memilih DSLR sejati.
8. Screen protector & Filter
Yang mereka katakan: “Tidak sekalian anti-gores dan filter lensa, Pak/Bu?”
Kenyataannya: Filter dan anti-gores berpotensi merusak kualitas gambar dan kualitas display
Layar LCD kamera kelas menengah ke atas sudah dilengkapi lapisan yang scratch resistant. Sampai batas tertentu, lapisan ini dapat menahan goresan. Yang lebih penting, kebanyakan layar LCD kamera telah dilengkapi lapisan anti refleksi sehingga layar lebih visible saat digunakan outdoor. Pemasangan anti gores dapat menganulir fungsi lapisan anti refleksi ini.
Filter UV/proteksi juga tak berbeda. Filter ini memang perlu untuk melindungi lensa, tetapi Anda tak boleh asal memilih dengan alasan, “toh hanya untuk proteksi”. Filter UV yang baik tidak memantul dan tidak mengurangi kualitas gambar. Harga filter bukan patokan terhadap kualitasnya, karena filter UV senilai Rp 600 ribu masih dapat memberikan hasil seperti ini. Sebaliknya, pastikan filter yang Anda pilih adalah tipe yang (paling tidak) Multi Coated.
9. Tas kamera untuk penyimpanan
Yang mereka katakan: “Beli tas yang besar saja, kan bisa sekalian untuk menyimpan kamera”
Kenyataannya: Menyimpan kamera dalam tas untuk waktu lama dapat menimbulkan jamur
Tas kamera biasanya kedap air, tetapi bukan berarti tas tersebut tidak lembab dan baik untuk penyimpanan. Busa dalam tas kamera dapat menyerap kelembaban dari udara, dan hal ini dapat mempercepat tumbuhnya jamur. Sebaiknya pilih tas yang nyaman dan cukup kecil untuk dibawa2.
Untuk penyimpanan, akan lebih baik menggunakan container kedap udara seperti Tupperware atau Lock n Lock yang sudah disisipkan silica gel. Solusi ini cukup efektif dan relatif terjangkau dibandingkan membeli dry cabinet. Namun, akan lebih baik lagi jika kamera Anda tidak disimpan, melainkan digunakan setiap hari.
Poin di mana toko kamera cenderung benar
Yang mereka katakan: “Sekalian ambil card readernya ya, Pak/Bu”
Kenyataan: Transfer foto menggunakan card reader dapat membuat kamera Anda lebih awet
Jika Anda tak memiliki card reader untuk media card yang kamera Anda gunakan, maka sebaiknya Anda miliki segera. Semua kamera memiliki kemampuan untuk mentransfer foto melalui kabel data yang disertakan dalam paket penjualan, tetapi metoda ini berpotensi mengurangi umur kamera. Transfer data melalui kamera berarti mengaktifkan sistem elektronik pada saat tak dibutuhkan, yang berarti pemakaian chip-chip elektronik bertambah. Transfer via kamera juga lebih lambat, sehingga sebaiknya turuti saran penjaga toko dan gunakan card reader.
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5295955
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar